Senin, 19 Oktober 2009

Garuda Pakai Batik?

Tanggal 4 hingga 8 Oktober lalu, saya mencoba mengikuti Pemilihan Duta Wisata Salatiga. Sebenarnya saya sadar, tinggi saya hanya 156 cm padahal tinggi minimal yang tertera pada brosur adalah 160 cm. Dengan penuh rasa percaya diri (yang terlalu tinggi) serta rasa optimis (yang keterlaluan juga tingginya) saya mengikuti semua rangkaian kegiatan. Mulai dari kunjungan wisata, pembekalan, tes IQ, tes tertulis, tes wawancara, gladi, talent show, sampai pada malam final. Sejak awal saya mengikuti pemilihan duta wisata ini, saya sudah merasa diikuti malaikat kesialan. Saat kunjungan wisata ke Pondok Remaja Salib Putih, sepatu kets putih yang saya kenakan minta makan (alas sepatu lepas), sehingga Ibu saya harus bersusah payah mengantarkan sepatu baru ke Atlantic Dreamland Salatiga. Kesialan kedua dihari yang sama, saat perjalanan kembali dari kunjungan wisata menuju ke Dinas Perhubungan, Komunikasi, Kebudayaan, Dan Pariwisata Kota Salatiga, saya merasa sangat pusing. Entah bagaimana ceritanya, sesampainya dirumah ,saya baru sadar tas ransel kesayangan saya tertinggal di kantor dinas, dan salah seorang panitia mengantarkanya pulang. 

Di hari kedua, tepat saat test IQ, kondisi kesihatan saya sangat tidak mendukung. Pusing, mual, perut sakit. Bahkan sampai saat malam grand finalpun saya masih sakit dan semakin parah. Malam grand final tiba, kondisi kesehatan saya semakin parah. Tapi, saya tetap menguatkan diri untuk mengikuti acara ini sampai selesai. Dengan kebaya kuthu baru, jarik model solo, sanggul ayu, make up tebal, ditambah sandal dengan hak setinggi 12cm, saya melenggak lenggok diatas panggung dengan penuh percaya diri. 

Sesi tanya jawabpun tiba. Saya mendapatkan pertanyaan yang sebenarnya mudah saja untuk dijawab, “Apa dampak positif yang dapat diambil dari pengakuan batik sebagai warisan budaya Indonesia?”, dan saya INGIN menjawab, “Dampak positif dari diakuinya batik sebagai warisan budaya Indonesia salah satunya adalah, batik bisa menjadi lambang perjuangan kebudayaan Indonesia, dan ini suatu tantangan untuk kita bisa mempertahankan kebudayaan kita yang lain, selain itu kita wajib mengucapkan terimakasih kepada Malaysia yang telah mengingatkan kita bahwa sangat penting menjaga dan mempertahankan apa yang kita ciptakan dan kita miliki.”, Tapi, memang dasar Kumas tulalit, saya salah ucap, LAMBANG KEBUDAYAAN menjadi LAMBANG NEGARA. Sehingga, untuk menutupi kesalahan, apa yang saya pikirkan sama sekali tidak muncul dalam ucapan saya. 

“Dampak positif dari diakuinya batik menjadi warisan budaya bangsa Indonesia adalah batik bisa menjadi lambang negara kita selain burung Garuda Pancasila. Karena, ternyata kita lebih mengenal dan mengaggumi batik daripada burung Garuda Pancasila.” Dan ini menjadi sindiran halus bagi kita semua, berapa banyak batik yang kita punya di lemari? Adakah satu saja hiasan burung Garuda Pancasila di rumah kita? Bahkan mungkin, sebagian besar dari kita lupa apa makna burung Garuda Pancasila, berapa banyak bulu burung Garuda di leher, sayap, dan badan? Atau bahkan mungkin saja banyak yang lupa bahwa lambang negara kita adalah burung Garuda Pancasila. Ini memunculkan sedikit ide tolol dalam otak saya (seorang mahasiswi yang nggak tau apa-apa dan nggak punya rasa nasionalisme), daripada terjaring UU Pornografi, bagaimana kalau burung Garuda Pancasila yang telanjang (hanya tutupan panji yang sudah rapuh dan ‘nggondol’ pita yang sudah usang dikakinya), kita pakaikan baju batik? Sejak saat itu, saya merasa tidak akan mendapatkan gelar sedikitpun, karena saya memang merasa bersalah telah salah ucap. Tapi, tidak disangka – sangka saya mendapatkan gelar mbak Intelegensia Kota Salatiga 2009. Hahahaha... betapa beruntungnya saya (atau mungkin jurinya merasa tersindir juga ya?)!

-Kumz-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar